Mau tahu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu pertama di gua Hira?
Pada usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam empat puluh tahun turun wahyu pertama kali kepada beliau di gua Hira.
Wahyu itu turun pada hari Senin, tanggal 21 Ramadhan, pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau 40 tahun. Hal ini dinyatakan oleh Syaikh Prof. Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad dalam karya beliau As-Sirah An-Nabawiyyah fii Dhau’ Al-Mashadir Al-Ashliyyah, hlm. 130. Syaikh Dr. Akram Dhiya’ Al-‘Umari menyatakan bahwa wahyu tersebut turun pada hari Senin, sebagaimana disebut dalam As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, hlm. 148. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 87 menyatakan bahwa turunnya wahyu tersebut jatuh pada hari Senin, malam ke-21 Ramadhan (bersesuaian dengan 10 Agustus tahun 610 Masehi). Umur beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu adalah 40 tahun, 6 bulan, 12 hari menurut hitungan Qamariyah dan diperkirakan umur beliau berdasarkan hitungan Syamsiyah adalah 39 tahun, 3 bulan, 20 hari.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan,
أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَهْوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ ، فَمَكَثَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ سَنَةً ، ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ ، فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ ، فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ ، ثُمَّ تُوُفِّىَ – صلى الله عليه وسلم –
“Wahyu pertama diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berusia empat puluh tahun. Beliau tinggal di Makkah selama tiga belas tahun. Lalu beliau diperintahkan berhijrah ke Madinah. Kemudian menetap di Madinah sepuluh tahun. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia.” (HR. Bukhari, no. 3851)
Dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Wahyu yang pertama diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi yang benar dalam tidur. Beliau tidak melihat dalam mimpi kecuali datang seperti falaq (fajar) Shubuh. Kemudian setelah itu, beliau suka menyendiri (khulwah) dan tempatnya adalah di gua Hira. Beliau ber-takhannuts di dalamnya (beribadah beberapa malam). Sebelum meninggalkan keluarganya, beliau membawa bekal, kemudian kembali ke Khadijah radhiyallahu ‘anha, kemudian membawa bekal lagi untuk berikutnya. Itu terus berulang hingga datanglah kebenaran dalam kondisi beliau berada di gua Hira.” Masih berlanjut kisah ini hinga turunnya wahyu pertama.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan, saat di gua Hira, malaikat datang dan berkata, “Bacalah!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Saya tidak bisa membaca.” Malaikat tersebut memeluk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga terasa sesak, kemudian ia melepaskan beliau. Kemudian setelah itu, dia memintanya membaca kembali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Saya tidak bisa membaca.” Kemudian dia kembali memeluk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kedua kalinya hingga beliau merasa tersesak, kemudian melepaskannya dan berkata, “Bacalah!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Saya tidak bisa membaca.” Kemudian dia memeluk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketiga kalinya, lalu melepaskannya, lantas malaikat tadi menyebutkan,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dalam keadaan hatinya takut. Kemudian masuk rumahnya menemui Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Khadijah menyelimutinya hingga rasa takutnya hilang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Khadijah setelah memberitahukan masalahnya, “Saya takut pada diri saya.” Khadijah berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena kamu adalah orang yang suka menyambung hubungan silaturahim, membantu orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang tertimpa musibah.” Khadijah akhirnya membawa Waraqah bin Naufal bin Asad Abdul Uzza (anak paman dari Khadijah), seorang penganut agama Nashrani pada zaman jahiliyah. Dia bisa menulis dengan bahasa Arab, juga menulis Injil dengan bahasa Arab, dan itu kemudahan dari Allah.
Pada waktu itu usianya telah lanjut dan matanya sudah buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah perkataan dari anak saudaramu.” Waraqah bertanya, “Wahai anak saudaraku, apa yang kamu telah lihat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan apa yang telah beliau alami. Setelah Waraqah mendengar penuturan beliau, ia berkata, “Inilah Namus (Jibril) yang Allah turunkan kepada Musa. Alangkah indahnya bila saya masih muda (kuat). Andai saja saya masih hidup saat kaummu mengeluarkanmu dari kampung halamanmu.”
Di situlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah mereka akan mengeluarkan saya dari kampung saya?” Waraqah bertanya, “Benar, tidak ada orang yang membawa seperti apa yang kamu bawa, kecuali orang tersebut akan dimusuhi. Saya berjanji seandainya saya mendapatkan harimu itu, maka saya akan menolongmu dengan pertolongan yang maksimal.” Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu mengalami kekosongan beberapa waktu lamanya. (HR. Bukhari, no. 6982. Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Awal Turunnya Wahyu kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dari mimpi yang benar”)
Nantikan bahasan selanjutnya tentang faedah dari lima ayat yang turun pertama dari surah Iqra’.
Semoga mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Referensi:
- Ar-Rahiq Al-Makhtum, Bahts fi As-Sirah An-Nabawiyyah ‘ala Shahibihaa Afdhal Ash-Shalah wa As-Salam. Cetakan kedua, Tahun 1420 H. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Dar Al-Wafa’ & Dar Tadmuriyyah;
- As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah. Cetakan ketujuh, Tahun 1434 H. Dr. Akram Dhiya’ Al-‘Umari. Penerbit Al-‘Ubaikan;
- As-Sirah An-Nabawiyyah fii Dhau’ Al-Mashadir Al-Ashliyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Prof. Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. Penerbit Dar Zidni;
- Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, Tahun 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah;
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah. Cetakan kesembilan, Tahun 1430 H. Ibrahim Al-‘Ali. Penerbti Dar An-Nafais.
—
Artikel Kajian Masjid Al-Azhar Karangrejek Wonosari, 20 April 2018
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com